Naskah akademik handal konselor bagi hemat penulis, sudah secara galat, ataupun terencana merancukan, dalam menguasai Pasal 39 Ayat( 2) UU Nomor. 20/ 2003 tentang Sistem Pembelajaran Nasional. Dalam pasal itu disebutkan kalau“ Pendidik ialah tenaga handal yang bertugas merancang serta melakukan proses pendidikan, memperhitungkan hasil pendidikan, melaksanakan pembimbingan serta pelatihan, dan melaksanakan riset serta dedikasi kepada warga, paling utama untuk pendidik pada akademi besar”. Jadi jika konselor merupakan pendidik( Pasal 1 ayat 6) pasti tugasnya merupakan apa yang diartikan oleh pasal 39 ayat 2 di atas. Persoalannya merupakan proses pendidikan semacam apa yang dilaksanakan oleh konselor? Apakah sama dengan pembelajarn yang diberikan guru? Disinilah, bagi hemat penulis, karena musabab ataupun pangkal kekeliruannya.
Penggagas NA kayaknya tidak ingin menggunaan sebutan pendidikan buat konteks tugas konselor tetapi lebih memilah sebutan proses pengenalan diri oleh konseli baik menimpa kekuatan serta kelemahan yang ditemui pada dirinya mapun aspirasi hidup yang dihayatinya, yang diperhadapkan dengan kesempatan yang terbuka serta tantangan yang dialami yang ditemuinya dalam area, sehingga memfasilitasi penumbuhan kemandirian konseli dalam mengambil sendiri bermacam keputusan berarti dalam ekspedisi hidupnya, spesialnya keputusan dalam pembelajaran serta pemilihan karier dan upaya- upaya yang butuh dicoba buat mencapai dan mempertahankan karier yang sudah dipilihnya itu dalam rangka mewujudkan kehidupan yang produktif serta sejahtera, dan hirau kepada kemaslahatan universal.
Pertanyaannya, merupakan, apakah yang disebutkan oleh penggagas NA itu secara totalitas tidak ialah proses pendidikan konseli? Gimana proses pengenalan terhadap kekuatan serta kelemahan diri, ataupun aspirasi hidup yang dihayati konseli itu tumbuh? Apa metode yang ditempuh konselor buat memfasilitasi konseli supaya dia bisa secara mandiri mengambil keputusan berarti dalam ekspedisi hidupnya itu? Apa pula yang dicoba konseli supaya kemandirian dalam pengambilan keputusan itu jadi miliknya? Pelatihan Mindfulness
Sehabis keputusan diambil konseli, gimana pula dia merealisasikan keputusannya itu sehingga mencapai ataupun mempertahankan karir dalam rangka mewujudkan kehidupan produktif, sejahtera serta hirau kepada kemaslahatan universal tersebut? Kan seluruhnya itu cuma bisa diraih klien dengan metode belajar, sehingga proses buat menjadikan klien sebagaimana yang dikemukakan penggagas NA itu merupakan lewat proses pendidikan.
Memanglah proses pendidikan oleh konselor amat berbeda dengan proses pendidikan yang dicoba guru. Apabila guru membelajarkan partisipan didik, konteks tugas pembelajarannya merupakan modul pelajaran semacam Matematika, IPA, Bahasa, dll, dengan metode mengoperasionalkan tata cara serta cara- cara mengajar. Namun apabila konselor membelajarkan kliennya, konteks tugasnya merupakan pengembangan keahlian individu, sosial, belajar serta karir. Triknya dengan mengoperasionalkan jenis- jenis layanan serta aktivitas pendukung konseling. Di sinilah keunikan pelayanan handal konselor dibanding dengan tugas pelayanan handal guru. Buat bisa lebih menguasai perihal ini rasanya hendak bijaksana jika penggagas NA memandang pula program tutorial serta konseling buat sekolah dasar serta sekolah menengah di Amerika Serikat yang dikeluarkan oleh American School Counselor Association( ASCA, 2004).
2. Apakah konteks tugas konselor yang dikemukakan penggagas NA telah bersumber pada kajian yang mendalam tentang kebutuhan serta pertumbuhan partisipan didik?
Keunikan konteks tugas konselor sebagaimana dikemukakan penggagas NA Pembelajaran Professional Konselor ialah proses pengenalan diri konseli dengan memperhadapkan kekuatan serta kelemahannya dengan kesempatan serta tantangan yang ada dalam lingkungannya, dalam rangka meningkatkan kemandirian dalam mengambil bermacam keputusan berarti dalam ekspedisi hidupnya sehingga sanggup memilah, mencapai dan mempertahankan karir buat menggapai hidup produktif serta sejahtera, dalam konteks kemaslahatan universal”, dari sudut pandang kebutuhan serta pertumbuhan konseli( sebutan ABKIN) tampaknya tidak jelas serta sangat kabur. Gimana rumusan operasional dari konteks tugas semacam itu apabila pelayanan konseling hendak diselenggarakan di SD, SLTP, SLTA, ataupun di akademi besar? Gimana merumuskannya secara simpel sehingga bisa dicoba layanan yang operasional supaya siswa SD, SLTP, SLTA sanggup memilah, mencapai serta mempertahankan karirnya? Menggapai hidup produktif serta sejahtera dalam konteks kemaslahatan universal? Apa tidak lumayan perihal itu seluruh disederhanakan saja jadi: modul pengembangan keahlian individu, sosial, belajar, serta karir sebagaimana yang sudah tercantum dalam program pengembangan diri Permendiknas Nomor. 22 tentang Standar Isi? Apa jaminannya kalau apa yang disusun oleh penggagas NA lebih baik dari Permendiknas Nomor. 22? Berapa ahli BK yang merumuskan itu? Apakah tahapannya lebih hebat dari apa yang dicoba BSNP saat sebelum naskah itu ditandatangani Menteri Pembelajaran Nasional?
Penulis percaya kalau jawabannya jika tidak hendak kurang bisa jadi sama. Jika begitu kenapa mempersoalkan benda yang sudah mapan sebaliknya penggantinya belum dapat dibuktikan kehebatannya?
3. Dapatkah dibenarkan metode pandang penggagas naskah akademik mengambil satu permendiknas serta menafikan permendiknas yang lain?
Penggagas naskah akademik mengakui serta mengambil permendiknas 28/ 2007 selaku landasan berpijaknya di satu sisi, namun amat menolak permendiknas Nomor. 22/ 2006 tentang Standar Isi, di sisi lain. Sebagaimana dikenal, Permendiknas Nomor. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi buat Satuan Pembelajaran Dasar serta Menengah ialah syarat pemerintah, jabaran dari PP. Nomor. 19/ 2005 tentang Standar Nasional Pembelajaran yang berinduk pada UU Nomor. 20/ 2003 tentang Sistem Pembelajaran Nasional. Modul Permendiknas itu berasal dari hasil karya Tubuh Standar Nasional Pembelajaran( BSNP) yang secara spesial diberi tugas serta kewenangan oleh pemerintah menyusun konsep- konsep tentang standar pembelajaran yang berikutnya hendak diberlakukan oleh pemerintah lewat diterbitkannya Permendiknas.
Oleh BSNP, tahapan yang dilalui dalam proses penataan kedua permendiknas tersebut( Permendiknas Nomor. 27/ 2008 serta Permendiknas Nomor. 22/ 2006) merupakan sama, ialah diawali dengan curah komentar para nggota btim angkatan darat(AD) hoc dengan anggota BSNP, penataan perlengkapan pengumpul informasi yang digunakan buat menjaring komentar para stake holders, pengumpulan informasi ke bermacam wilayah, analisis informasi, penataan draf, review draft, validasi draft ke stake holders, penyempurnaan draft, mengikutsertakan unit utama di jajaran depdiknas yang terpaut dengan modul yang ada dalam draft, uji publik, finalisasi draft, hingga kesimpulannya diputuskan oleh BSNP layak buat diajukan ke Menteri Pembelajaran nasional buat dijadikan Peratutan Menteri.
Apakah para penggagas tidak turut sama sekali dalam proses tersebut? Jika tidak turut, apakah pengagas naskah akademik tidak mau membagikan masukan yang berarti buat mempertahankan sekalian meningkatkan eksistensi profesi BK di tanah air waktu materi- materi it dalam proses ulasan? Aku percaya kala materi- materi yang berkaitan dengan Permendiknas Nomor. 22/ 2006 di dalam tahapan proses ulasan semacam dikemukakan itu, para penggagas naskah akademik terdapat yang turut dalam membagikan sumbang anjuran buat penyempurnaan draft permen tersebut. Namun kenapa saat ini mereka mempersoalkannya apalagi mau mengganti konvensi yang sudah dihasilkan dalam tiap tahapan proses tersebut? Kenapa pula permendiknas Nomor. 27/ 2008 yang diakui sedangkan permendiknas Nomor. 22/ 2006 mereka pandang sebelah mata?